
Kartini tak hanya mencerminkan pemikiran kritisnya tentang emansipasi perempuan, tetapi juga menjadi jendela penting untuk memahami realitas sosial-politik Jawa pada akhir abad ke-19.
Korespondensi pertama Kartini dilakukan dengan feminis Belanda, Estelle “Stella” Zeehandelaar pada 25 Mei 1899. Surat menyurat tersebut menandai babak awal keterlibatannya dalam gerakan feminis internasional.
Pertemuan ide mereka berawal dari ketertarikan Kartini pada Pameran Nasional Karya Perempuan (Nationale Tentoonstelling Van Vrouwenarbeid) di The Hague, Belanda, pada 1898.
Dalam upaya menindaklanjuti semangat tersebut, Kartini menulis kepada redaksi jurnal perempuan De Hollandsche Lelie, meminta agar dicarikan sahabat pena dari Belanda—yang kemudian mempertemukannya dengan Stella, seorang feminis dan anggota Partai Buruh Sosial-Demokrat.
Dalam surat perdananya, Kartini tak hanya memperkenalkan diri, tetapi juga menggambarkan dengan tajam bagaimana kehidupan perempuan Jawa berada dalam belenggu tradisi dan sistem kolonial yang mengekang.
Lewat tulisannya, Kartini memperlihatkan pandangan yang jauh lebih progresif daripada yang dibayangkan orang pada zamannya.
Dan berikut kutipan surat – surat Kartini dikutip dari Buku Kartini, Surat Lengkap dan Berbagai Catatan 1898-1904 yang ditulis oleh Joost Cote:
1. “Sayangnya, tradisi yang lahir berabad lamanya, yang tak bisa dipatahkan begitu saja, merengkuh kami dengan kuat dalam cengkeraman mereka. Suatu hari nanti, tentu saja, tangan – tangan tradisi akan melepaskan kami, tapi tampaknya masa itu masih sangat jauh, sangat tak terhingga jauhnya! Masa itu akan datang, saya tahu, tetapi tidak untuk tiga, empat, generasi setelah kami”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899
2. “Tradisi Timur yang berabad lamanya ini sungguh sangat kokoh dan kuat, meski rasanya bisa juga kugoyahkan, kupatahkan, sekiranya tidak ada ikatan lain yang lebih kokoh dan kuat dibandingkan adat lama, yang biar bagaimanapun ingin selalu menautkan kepada duniaku seluruhnya: cinta kasihku kepada mereka yang membesarkanku, yang kepada merekalah saya berhutang segala-galanya)”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
3. “Ketahuilah, adat negeriku memang melarang keras anak gadis untuk pergi keluar rumah sendirian. Kami tidak diperbolehkan pergi ke manapun – dan satu-satunya lembaga pendidikan, yang karenanyalah kota kecil ini serasa mendapat berkah, sekolah dasar yang hanya diperuntukkan orang-orang Eropa.
Tak sampai situ, ketika menginjak umur dua belas tahun, saya diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah – seperti masuk dalam sebuah kotak tertutup. Saya terkunci di dalam kamar, terasing dari dunia luar. Kami tidak diizinkan kembali masuk ke dunia sana kecuali bersama seorang suami, sosok yang benar-benar asing, yang dipulihkan orangtua untuk kami, tanpa sepengetahuan kami, serta hanya dengannyalah kami boleh menikah”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
4. “Saya masih sangat beruntung tidak dilarang untuk membaca buku – buku Belanda atau berkorespondensi dengan teman-teman Belanda. Buku – buku itu, surat – surat itu, menjadi satu – satunya secercah cahaya dalam masa-masa kelamku, masa-masa tergelapku. Buku – buku itu, surat – surat itu menjadi segalanya bagiku-tanpa mereka, mungkin saya telah mati, atau bahkan lebih buruk; jiwaku, semangat-ku yang mati”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
5. “Namun kami harus menikah, harus, harus. Tidak menikah adalah kejahatan terbesar yang bisa dilakukan seorang perempuan Muslim, itu skandal terbesar yang bisa menimpa gadis Pribumi dan keluarganya”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

6. “Peradaban memang suatu anugrah tapi juga melahirkan sisi tergelap. Saya percaya, dorongan untuk meniru melekat pada diri manusia. Masyarakat meniru kebiasaan atasan mereka, yang pada gilirannya mengikuti orang-orang dari kelas yang lebih tinggi dan akhirnya meniru mereka yang berada di paling atas – orang-orang Eropa”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
7. “Semakin banyak candu terjual semakin terisi penuhlah Kas Pemerinta. Kontrak candiumenjadi salah satu sumber yang paling menguntungkan bagi Pemerintah Hindia Belanda”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
8. “Sebagus apapun terjemahannya, takkan pernah bisa menandingi yang asli? Yang asli akan selalu lebih unggul, lebih halus”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
9. “Bulan lalu saya berusia 20 tahun. Anehnya, ketika saya berusia 16 tahun, saya merasa diri saya sangat tua dan sering mengalami depresi; dan sekarang, saya bersumpah, saya merasa sangat muda dan penuh akan semangat hidup dan… bersemangat untuk menghadapi pertarungan”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
10. “Bagiku tidak ada yang lebih menggelikan, tak ada yang lebih konyol, dari pada orang – orang yang membiarkan diri mereka dihormati berdasarkan apa yang mereka sebut keturunan ningrat? Nilai apa yang melekat pada diri seorang pangeran atau seorang bangsawan? Tak bisa kepadamu dengan pikiranku yan sederhana ini”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
11. “Kami menghormati sebuah ungkapan berharga: kebebasan adalah kebahagian”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
12. “Jika seorang gadis muda berjalana dia harus melakukannya dengan tenang, dalam langkah – langkah pendek, langkah – langkah yang rapi, selambat mungkin tak ubahnya seekor siput; jika kamu berjalan sedikit lebih cepat saja, maka mereka akan mendakwamu sebagai jeda pacuan”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
13. “Aku tahu bahwa begitu banyak pergulatan menunggumu di depan, tetapi aku menghadapi masa depan dengan lapang dada. Aku tak bisa kembali ke lingkungan lamaku. Tetapi juga tidak mungkin bagiku untuk melangkah lebih jauh ke arah yang baru. Masih ada ribuan ikatan yang mengikatkan dengan dunia lama”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
14. ‘Suatu hari akan terjadi, harus terjadi, bahwa aku akan berjalan dengan di belakang seorang suami yang tidak kukenal. Cinta hanya ada di dongeng dunia Jawa kami. Bagaimana sepasang suami istri bisa saling mencintai jika mereka baru pertama kali bertemu padahal mereka sudah bersatu dengan baik dan sah dalam ikatan perkawinan? “
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)

15. “Bagiku. untuk mencintai harus ada rasa hormat dan aku tak bisa memiliki rasa hormat terhadap pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghormati seorang laki-laki yang sudah menikah dan menjadi ayah, tetapi hanya dia sudah muak dengan ibu dari anak-anaknya, lantas meminta wanita lain masuk ke rumahnya?
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
16. “Berdosa berarti menyakiti makhluk lain, manusia atau hewan. Dan dapatkan kamu membayangkan rasa sakit yang luar bisa yang harus dialami seorang perempuan ketika suaminya pulang dengan perempuan lain yang harus dia akui sebagai istri sahnya, saingannya?”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
17. “Aku pun bisa melukis dan menggambar, tapi pena lebih-lebih menarikku lebih kuat dari pada kuas”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
18. “Selanjutnya! Hanya harus memberanikan diri untuk maju dan merebutnya. Tiga perempat dunia adalah milik mereka yang berani”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
19. “Stella, penjaraku adalah rumah besar dengan taman yang luas, dikelilingi tembok tinggi yang membuatku merasa seperti di penjara. Tidak peduli betapa luas rumah kita dan seberapa luas tamannya, jika kamu dipaksa untuk tetap tinggal di dalamnya, kau akan merasa terkungkung.
Aku ingat betul bagaimana dalam keputusasaan, aku sering melempar diriku ke pintu yang selalu terkunci dan dinding batu yang dingin. Kemanapun aku memandang, di setiap ujung jalannya hanya ada dinding batu atau pintu yang terkunci”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
20. “Juru masak yang andal selalu dicari dan mendapatkan tempat di mana saja”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
21. “Dan ternyata, kebanyakan orang Belanda mengutuk Hindia sebagai ‘tanah monyet yang mengerikan’. Yang membuatku lebih marah saat mendengar mereka berkata ‘Hindia yang menyedihkan itu’. Mereka terlalu mudah lupa bahwa” tanah monyet yang menyedihkan’ ini telah mengisi banyak kantong kosong dengan emas pada saat mereka kembali ke Patrick setelah menghabiskan beberapa waktu di sini”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
22. “Sudah sejak masa kanak-kanak aku telah jatuh cinta pada lautan yang indah. Seandainya aku adalah laki-laki, tentu aku tidak akan ragu menjadi seorang pelaut”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
25. “Bahkan jika langit runtuh, aku akan meletakkan bahuku di bawahnya”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)

26. “Sebab oh, tidak ada yang lebih baik menurutku dari pada membuat senyum bahagia di wajah orang lain, terutama untuk seseorang yang kita cintai. Tidak ada yang lebih surgawi dari pada ketika sepasang mata tercinta melihatmu dengan cinta dan suka cita dan ketika kau merasa bersalah lantaran semua kebahagiaannya yang dirasakan”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)
27. “Apakah kamu tahu motoku? ‘Saya akan!’ Dan dua kata kecil ini sudah bisa begitu sering membawaku melewati segunung kesulitan. ‘Aku tidak bisa!’ menyerah. ‘Aku akan!’ mendaki gunung. Aku penuh akan harapan, penuh semangat. Stella, jaga agar api ini tetap menyala! Jangan biarkan itu mati. Buat aku hangat, biarkan aku bersinar. Stella aku mohon, jangan biarkan aku pergi”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 13 Januari 1900)
28. “Tapi apa yang ada, atau yang lebih tepatnya berkembang biak adalah kejahatan ini: penerimaan suap yang menurutku sama memalukannya dengan perampas harta milik petani seperti dalam Max Havelaar”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 13 Januari 1900)
29. “Pribumi menganggap pemberian hadiah kepada atasan mereka sebagai tanda penghormatan dan penghargaan. Namun sebetulnya penerimaan hadiah tersebut dilarang pemerintah. Tetapi faktanya pejabat pribumi yang lebih rendah dibayar dengan sangat menyedihkan sehingga hampir mengherankan bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan dengan gaji mereka yang kecil”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 13 Januari 1900)
30. “Pertama kali petugas karenakan seperti itu ditawari seikat pisang atau semacamnya oleh beberapa penduduk desa dia akan menolaknya; dia akan terus menolaknya untuk kedua kalinya, tetapi ketiga kalinya penolakannya menjadi lebih ragu-ragu, dan pada kesempatan keempat tawaran itu diterima dengan mantap.
Dia berkata pada diri dirinya sendiri; ini bukan kejahatan yang telah saya lakukan, lagi pula, saya tidak memintanya, itu telah diberikan kepada saya dan akan bodok menolaknya jika memang bermanfaat. Menawarkan hadiah tidak hanya sebagai tanda penghormatan tetapi juga perlindungan terhadap beberapa kemalangan tang datang dari pemerintah yang mungkin suatu hari menimpa si pemberi. Jika dia ditangkap oleh wedono untuk beberapa pelanggaran kecil maka dia dapat mengandalkan temannya petugas di kawedanan untuk berbicara atas namanya”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 13 Januari 1900)
31.”Banyak pejabat, maksudku pejabat peribumi, telah dikerdilkan sedemikian rupa ke dalam keadaan melarat. Ketika Masku tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dari gajinya, Romo pasti segera membantu. Apakah yang mampu dilakukan pejabat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan gaji mereka, tidak memiliki uang, dan malah orang tua atau keluarga yang mendukung secara finansial? Dan mereka terus saja datang dengan persembahan untuk atasan mereka dan kamu akan melihat istri dan anak-anaknya dengan pakaian robek…. Jangan menilai terlalu keras Stella”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 13 Januari 1900)
32. “Kukira Pemerintah percaya bahwa ketika masyarakat belajar, mereka tidak mau lagi menggarap lahan”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 13 Januari 1900)
33. “Akhirnya pada tahun 1895 ditetapkan: tidak ada anak pribumi (berusia 6 sampai tujuh tahun) yang akan diterima di sekolah dasar negeri untuk orang Eropa jika belum bisa berbahasa Belanda, kecuali mendapat izin tersurat dari Gubernur Jenderal…”
(Surat untuk Stella Zeehandelaar, 13 Januari 1900)