
Gorontalo, memicu sorotan publik.
Unggahan tersebut menyertakan foto rincian biaya perlengkapan siswa baru yang mencakup 14 item, termasuk jas almamater, seragam, atribut OSIS, jilbab, hingga map rapor.
Viralnya unggahan tersebut di media sosial, khususnya Facebook, memunculkan dugaan bahwa sekolah melakukan pungutan liar (pungli).
Apalagi dalam unggahan itu disertakan caption bernada sindiran: “Di Indonesia pendidikan itu tidak wajib. Karena kalau wajib, harusnya tidak ada anak yang tidak bisa sekolah.”
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gorontalo, Mohamad Yasin Alitu, membantah tudingan bahwa biaya Rp 915.000 tersebut termasuk pungli.
Ia menegaskan bahwa biaya tersebut tergolong dalam biaya personal siswa, bukan pungutan yang bersifat wajib dan tidak berkaitan dengan dana pendidikan dari pemerintah.
“Di sekolah itu ada biaya personal dan ada yang ditanggung pemerintah. Untuk seragam dan atribut seperti baju, jilbab, lambang, map rapor, itu termasuk biaya personal,” ujar Yasin saat diwawancarai TribunGorontalo.com, Senin (23/6/2025).
Yasin menjelaskan bahwa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya digunakan untuk kebutuhan operasional pendidikan, seperti gaji guru honorer, alat tulis kantor, dan kegiatan pembelajaran.
Dana BOS tidak mencakup pembelian seragam maupun perlengkapan pribadi siswa.
“Map rapor itu hanya cover-nya saja. Sekolah hanya menyediakan agar seragam, tapi itu tidak wajib. Orang tua bisa beli di luar, atau tidak membeli pun tidak masalah,” tegas Yasin.
Menurutnya, pihak sekolah menyediakan perlengkapan tersebut sebagai bentuk fasilitasi agar orang tua tidak kesulitan mencari di luar.
Selain itu, Yasin memastikan bahwa tidak ada pemaksaan dalam pembelian item perlengkapan tersebut.
“Kami sudah klarifikasi ke SMP Widya Krama. Mereka hanya menyediakan bagi yang mau. Tidak ada pemaksaan. Bahkan banyak yang hanya ambil sebagian saja karena sudah punya dari kakaknya atau keluarganya,” kata dia.
Yasin menyebutkan, selama tidak ada unsur paksaan, tidak ada transparansi yang dilanggar, dan proses dilakukan atas dasar kesepakatan dengan orang tua, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai pungli.
“Pungli itu kalau ada pemaksaan, tidak transparan, dan tidak ada persetujuan. Di SMP Widya Krama, tidak seperti itu. Bahkan siswa yang tidak mampu, mereka dibebaskan dari biaya itu,” jelas Yasin.