
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi tak segan membagikan kisah keponakannya yang hidup dalam keterbatasan sebagai pegawai honorer.
Dalam sebuah cerita yang ia bagikan, Dedi menyebut sang keponakan sudah mengabdi sebagai tenaga honorer di lingkungan Pemda Purwakarta selama 15 tahun. Namun, pengabdiannya itu hanya dibayar Rp 2 juta setiap bulan.
Potret kehidupan keponakannya ini disebut Dedi sebagai cerminan kondisi para honorer di Jawa Barat yang dinilainya masih jauh dari kata sejahtera.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, keponakan Dedi harus mencari penghasilan tambahan. Ia pun memilih berjualan gorengan, tepatnya bala-bala, demi menutup kekurangan dari gaji bulanannya.
Tak disangka, hasil dari jualan bala-bala justru lebih besar ketimbang penghasilan utamanya sebagai honorer.
“Setiap minggu dia jualan bala-bala, sekali jual bisa dapat Rp3 juta. Jadi, dalam seminggu saja, pendapatan dari jualan makanan kecil itu bisa lebih besar daripada gaji bulanannya di Pemda,” ujar Dedi Mulyadi, dikutip dari TribunJakarta, Senin (7/7/2025).
Jika dihitung, dalam sebulan keponakannya bisa meraup penghasilan hingga Rp 12 juta dari jualan gorengan—enam kali lipat dari gaji tetapnya sebagai honorer.
Fenomena ini menjadi perhatian serius Dedi. Ia menyoroti besarnya kesenjangan antara gaji tenaga honorer dan potensi penghasilan di sektor informal, khususnya usaha kuliner UMKM.
Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per Januari 2024, tercatat masih ada lebih dari 2,3 juta tenaga honorer aktif di Indonesia. Sebagian besar dari mereka menerima upah di bawah upah minimum regional (UMR).
Selain soal gaji honorer, Dedi juga menyinggung adanya pengangguran terselubung di Jawa Barat. Ia mengatakan, banyak masyarakat masih terjebak pada pola pikir bahwa bekerja berarti harus ke pabrik atau kantor, padahal bertani atau berwirausaha juga merupakan pekerjaan yang layak.
“Ini yang perlu kita ubah. Kita harus punya orientasi baru bahwa pertanian dan usaha mandiri adalah solusi nyata, bukan pelarian,” ujar pria yang akrab disapa KDM itu.
Ia pun mendorong pemanfaatan potensi sumber daya alam di Jawa Barat, termasuk lahan pertanian, sawah, dan kebun yang belum tergarap maksimal. Menurutnya, sektor pertanian dan pariwisata bisa menjadi pilar ekonomi baru, terutama bagi generasi muda.
“Pertanian harus kita optimalkan. Sekarang sudah mulai kelihatan hasilnya, tapi masih banyak yang harus dikejar,” tambahnya.
Dedi berharap, perubahan orientasi ini bisa menjadi jalan keluar untuk menurunkan angka pengangguran, mengurangi kemiskinan struktural, sekaligus membangun kemandirian ekonomi masyarakat desa.