
Hari Buruh Internasional. Di Indonesia, tanggal ini juga menjadi momen mengenang perjuangan dan pengorbanan para buruh yang berani melawan ketidakadilan.
Salah satu sosok yang lekat dalam ingatan adalah Marsinah, aktivis buruh perempuan yang pada tahun 1993 ditemukan tewas secara tragis setelah memperjuangkan hak-hak buruh di tempatnya bekerja.
Siapa Marsinah?
Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia anak dari keluarga sederhana, besar di lingkungan pedesaan. Ayahnya, Kloimin, adalah seorang petani.
Setelah lulus SMP, Marsinah sempat melanjutkan ke SMA PGRI Nganjuk, tetapi tidak selesai karena keterbatasan biaya. Ia kemudian bekerja di Surabaya dan akhirnya pada tahun 1990 menjadi buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah perusahaan jam tangan milik militer di Porong, Sidoarjo.
Marsinah dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Ia gemar membaca, bahkan mencatat berbagai informasi penting dalam buku hariannya—termasuk hal-hal menyangkut ketenagakerjaan dan politik.
Kronologi Perjuangan dan Pembunuhan
Pada awal 1993, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan SK No. 50 Tahun 1992 yang menaikkan upah minimum regional (UMR) dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari. Namun, manajemen PT CPS tidak segera melaksanakan kebijakan ini.
Bersama rekan-rekan buruh lainnya, Marsinah menuntut hak mereka melalui serangkaian aksi mogok kerja pada 3-5 Mei 1993. Aksi ini diikuti sekitar 500 buruh. Marsinah juga turut menandatangani tuntutan tertulis kepada manajemen.
Pada 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil dan diinterogasi di Koramil Sidoarjo. Keesokan harinya, Marsinah mendatangi kantor Koramil untuk mencari informasi mengenai rekan-rekannya yang hilang. Setelah itu, ia menghilang.
Tiga hari kemudian, pada 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan di hutan Wilangan, Kabupaten Nganjuk. Otopsi dari RSUD Nganjuk menyebutkan bahwa Marsinah mengalami penyiksaan berat: tulang pinggul dan rahang patah, kemaluannya mengalami luka parah, dan ada bekas penyetruman di tubuhnya. Ia diperkirakan dibunuh pada 6 atau 7 Mei 1993.
Reaksi Publik dan Upaya Pengusutan

Kematian Marsinah mengundang kemarahan publik. Media massa nasional seperti Tempo, Kompas, dan Surya menurunkan laporan investigatif. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim investigasi khusus.
Organisasi internasional seperti Amnesty International juga mengutuk pembunuhan ini sebagai pelanggaran HAM berat.
Namun, bukannya menyasar pelaku sesungguhnya, aparat justru menangkap sembilan karyawan PT CPS dan menyatakan mereka sebagai tersangka. Mereka mengaku setelah diinterogasi secara paksa. Belakangan, Mahkamah Agung membebaskan mereka karena tidak ditemukan bukti yang cukup.
Dalam laporan Komnas HAM (1994), disebutkan dugaan kuat keterlibatan aparat militer, terutama dari Koramil Sidoarjo. Namun, hingga kini tidak ada satu pun anggota militer yang diproses hukum dalam kasus Marsinah.
Upaya Penghilangan Jejak dan Impunitas
Kasus Marsinah menjadi salah satu contoh nyata impunitas di era Orde Baru, di mana aparat militer tidak bisa disentuh hukum. Amnesty International menyebut penyelidikan dan peradilan kasus Marsinah sebagai “farsa hukum.”
Berbagai pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan Komnas Perempuan, mendesak pembentukan Tim Pencari Fakta Independen. Namun, upaya tersebut kandas akibat tekanan politik dan sensor negara.
Pada 2015, Presiden Joko Widodo menyebut kasus Marsinah sebagai salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan diusut. Namun hingga 2025, belum ada kemajuan konkret dalam pengungkapan kasus ini.
Mutiari, Ibu Muda Hamil yang Terseret Kasus Marsinah
Mutiari sedang hamil tiga bulan ketika mendadak menghilang. Wajahnya muncul di media massa, bukan sebagai korban, tetapi sebagai tersangka.
Usianya baru 26 tahun. Sehari-hari, ia bekerja sebagai Kepala Personalia PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur.