
patung biawak yang berdiri di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, belakangan mencuri perhatian publik.
Bentuknya yang menyerupai biawak sungguhan tengah memanjat batu membuatnya viral di media sosial. Patung ini bahkan kini menjadi ikon baru di jalur Wonosobo–Banjarnegara.
Uniknya, meski tampil memukau, biaya pembuatannya tak menguras anggaran seperti proyek-proyek serupa di daerah lain. Patung biawak ini hanya menelan biaya sekitar Rp50 juta—dan bukan berasal dari APBN maupun APBD.
Inisiatif pembangunan tugu datang dari para pemuda Karang Taruna Desa Krasak. Proyek ini digarap langsung oleh Arianto, seniman lokal asal Wonosobo yang akrab disapa Ari.
TribunBanyumas.com berkesempatan berbincang langsung dengan sosok di balik karya ikonik tersebut.
Ari mengaku latar belakangnya adalah seniman lukis. Ia pernah menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Namun seiring waktu, ia mulai mengasah kemampuan membuat patung secara otodidak. Hasilnya kini bisa dinikmati masyarakat luas.
Soal dana pembuatan, Ari enggan menyebut nominal secara rinci. Menurutnya, sebagai seniman, menyebutkan angka secara terang-terangan terasa kurang etis.
“Saya sebagai seniman itu sebetulnya kurang etis menyebut nominal,” ujarnya. “Kalau tahu prosesnya ini saja saya ngawali sampai ibaratnya berhutang. Kalau kok ditulis Rp50 juta, uh banyak sekali. Saya didawuhi bupati dan dana seadanya saya pasti buat semampu saya. Misal saya dikasih Rp1 miliar, 4 penjuru mata angin tak bangun, serius,” sambungnya sambil tertawa.
Untuk menghasilkan bentuk yang benar-benar realistis, Ari bahkan sempat membeli biawak hidup sebagai objek observasi. Ia ingin memastikan setiap detail dari patung benar-benar menyerupai aslinya.
“Jadi karya sebagus apapun ketika tidak punya ruh, sel, ataupun jiwa ya kurang,” katanya.
“Dalam karya itu ya menurut saya seperti orang cantik tapi juga harus yang smart. Jadi semoga karya-karya yang nanti tercipta ya cantik, ya pintar.”
Patung biawak itu sendiri berdiri setinggi 7 meter dengan lebar 4 meter. Warnanya dominan hitam dengan corak kuning, terlihat sedang merayap di atas batu, lidah menjulur, dan kepala menoleh ke kiri.
Meski belum rampung sepenuhnya—masih ada proses finishing dan penataan taman serta bangku di sekitarnya—keberadaan patung ini sudah menarik banyak perhatian. Tak sedikit warga maupun pengguna jalan yang sengaja berhenti untuk berfoto di depan “Tugu Krasak Menyawak,” sebutan masyarakat untuk karya ini.
Ketua Karang Taruna Kecamatan Selomert
o, Ahmad Gunawan Wibisono, menjelaskan bahwa pembangunan dimulai pada 3 Februari 2025 dan selesai dalam waktu satu setengah bulan. Ia menyebut pengerjaan akan terus dilengkapi agar lebih estetik.
Namun, sempat beredar kabar bahwa dana pembangunan patung ini berasal dari dana desa. Kabar itu segera dibantah oleh Kepala Desa Krasak, Supinah.
“Saya klarifikasi, itu bukan dari anggaran desa. Itu dari anggaran CSR kabupaten dan dibantu swadaya dari masyarakat, seperti gotong royong dan konsumsi selama pembangunannya,” tegas Supinah.