
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ingin mengirim siswa bermasalah ke barak militer sempat menuai kritik tajam.
Namun kini, gagasan tersebut mulai mendapat angin segar dari parlemen.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono menyatakan bahwa pembinaan siswa di barak TNI tidak menjadi persoalan selama dijalankan sesuai kurikulum dan tetap menjunjung prinsip pendidikan tanpa kekerasan.
“Selama masih sesuai dengan kurikulum dan menjaga fungsi-fungsi utama pendidikan tanpa tumpang tindih, ya itu tidak ada masalah,” kata Dave saat ditemui di kawasan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (7/5/2025) malam dilansir dari Antara.
Sebagai wakil rakyat yang membidangi pertahanan, Dave melihat program ini bisa menjadi bagian dari pendidikan karakter dan kedisiplinan bagi generasi muda. Ia pun menampik kekhawatiran akan adanya kekerasan dalam pelaksanaannya.
Menurutnya, TNI memiliki kemampuan untuk mendidik berbagai kalangan tanpa harus menggunakan kekerasan fisik.
“TNI itu sudah memiliki kemampuan untuk melatih berbagai macam orang. Jadi tidak selalu dengan kekerasan. Disiplin itu bukan berarti harus langsung dikumpulin dan digebukin. Disiplin itu bisa dengan cara yang tegas dan tepat,” ujarnya.
Dave juga menegaskan pentingnya prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program ini. Ia mengatakan, Komisi I DPR akan terus melakukan pengawasan terhadap program-program yang melibatkan institusi militer, apalagi jika menyasar kelompok rentan seperti pelajar.
“Pengawasan tetap perlu untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan fungsi dan pelanggaran hak-hak siswa,” ucapnya.
Sempat Dikritik
Sebelumnya, anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana termasuk yang paling vokal mengkritik rencana Dedi Mulyadi. Politikus PDI-P tersebut menilai bahwa persoalan siswa bermasalah tidak seharusnya langsung diselesaikan dengan pendekatan militer.
“Tidak semua problem harus diselesaikan oleh tentara, termasuk persoalan siswa bermasalah,” ujar Bonnie dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Rabu (30/4/2025).
Menurut Bonnie, rencana tersebut masih perlu dikaji secara matang. Ia menekankan bahwa membangun karakter siswa seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih menyeluruh, bukan dengan cara-cara militeristik yang dianggap instan.
“Penguatan karakter bukan selalu berarti mendidik siswa bermasalah dengan cara militeristik. Penanganan siswa bermasalah harus dipahami secara holistik dengan menelaah keluarga, lingkungan pergaulan, dan aktivitas di sekolah,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penyelesaian kenakalan remaja tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan pendekatan cepat tanpa menyentuh akar masalah yang sering kali bersumber dari kondisi sosial yang kompleks.
“Cara instan menyelesaikan problem kenakalan remaja tidak akan bisa menyelesaikan masalah hingga ke dasarnya, yang seringkali berakar ke problem sosial,” imbuhnya.